Monday, October 25, 2010

~ Tanggung Jawab Penuntut Ilmu (3): Ikhlas dan Niat yang Baik ~

Oleh: Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz

Orang yang tidak memiliki ilmu tidaklah dianggap sebagai seorang ulama. Orang yang seperti ini tidak akan memberi manfaat kepada manusia, baik dalam permasalahan dakwah atau perkara-perkara dunia. Yang saya maksud di sini adalah manfaat yang konkrit dan hasil yang nyata, walaupun terkadang orang yang tidak berilmu bisa memberi manfaat kepada sebagian manusia dengan nasehat yang dia ketahui, atau dengan suatu permasalahan yang dia hafal, atau dengan bantuan materi yang dia berikan kepada orang lain.

Akan tetapi manfaat yang konkrit akan muncul dari kejujuran, keikhlasan, banyaknya ilmu, kemapanan ilmu serta kesabaran dari seorang penuntut ilmu.

Ada suatu permasalahan yang penting, yaitu tanggung jawab yang ada pada seorang penuntut ilmu dari sisi menyampaikan ilmu dan mengajarkannya kepada manusia. Karena sesungguhnya para ulama adalah pengganti dan pewaris para rasul. Kedudukan para rasul tidaklah tersamar lagi, merekalah pembimbing dan pemberi petunjuk bagi umat. Mereka adalah pengantar umat menuju kepada kebahagiaan dan keselamatan. Sehingga dalam hal ini, para ulama menempati kedudukan para rasul dalam menyampaikan ilmu syar’i.

Kerasulan telah ditutup oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga tugas yang tersisa saat ini adalah menyampaikan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, berdakwah, menjelaskan dan menyebarkannya kepada manusia. Semua itu tidak ada yang lebih pantas untuk melakukannya kecuali para ulama. Karena Allah subhanahu wata’ala telah memberi mereka keahlian untuk berdakwah, membimbing umat dengan perkataan, perbuatan dan perjalanan hidup mereka yang zhahir dan batin.

Oleh karena itu, kewajiban mereka sangatlah besar. Dan mereka harus berhati-hati, karena umat berada dalam tanggungan mereka. Selain itu umat juga sangat membutuhkan penyampaian dan penjelasan ulama dengan berbagai sarananya.

Di zaman ini sarana-sarana untuk melakukan dakwah sangatlah banyak. Di antaranya adalah media massa yang berbentuk bacaan, maupun media audio/visual. Sarana-sarana tersebut mempunyai pengaruh yang besar dalam menyesatkan manusia maupun memberikan petunjuk kepada mereka. Begitu pula khutbah-khutbah di hari Jum’at, hari raya, acara-acara tertentu, seminar, perayaan-perayaan apa saja (yang syar’i), terbitan-terbitan baik berupa buku yang besar ataupun kecil. Sarana-sarana tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap dakwah. Alhamdullilah, sarana-sarana dakwah yang ada pada zaman ini begitu mudah dan banyak.

Namun, yang menjadi musibah adalah lemahnya semangat seorang penuntut ilmu serta berpaling dan lalainya dia dari menuntut ilmu. Inilah musibah yang sangat besar. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)

Di alam semesta ini, tidak ada seorang pun yang lebih baik ucapannya daripada mereka, terutama para rasul dan nabi, kemudian para ulama yang setelah mereka.

Setiap kali ilmu bertambah banyak, dan rasa taqwa, takut serta ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala bertambah sempurna, maka manfaat yang diperoleh akan bertambah banyak. Sehingga dakwahnya kepada ajaran Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam bertambah sempurna. Begitu juga sebaliknya. Setiap kali rasa taqwa, ilmu dan takut kepada Allah subhanahu wata’ala melemah atau sedikit, di sisi lain dia diuji dengan kesibukan-kesibukan dan syahwat dunia maka akan sedikit pula ilmu dan kebaikannya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)

Allah subhanahu wata’ala menjelaskan bahwa misi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan dilandasi ilmu. Dan Allah subhanahu wata’ala memerintahkan beliau untuk menyampaikan hal tersebut kepada umatnya. “قُلْ ” yaitu katakanlah (wahai Rasul kepada manusia), هَذِهِ سَبِيْلِي (inilah jalan (agama) ku) yaitu syariat dan jalan yang aku berada di atasnya, berupa ucapan atau perbuatan. Itulah jalanku dan manhajku menuju kepada Allah subhanahu wata’ala.

Oleh karena itu, seorang yang berilmu wajib untuk berjalan di atas jalan yang telah ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini, yaitu dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan berlandaskan ilmu. Itulah jalan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga jalan orang-orang yang mengikutinya.

Sehingga seorang hamba tidak akan menjadi pengikut Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang sejati dan sempurna kecuali apabila dia menelusuri jalannya. Maka barangsiapa yang berdakwah kepada Allah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berlandaskan ilmu, berlepas diri dari syirik dan istiqamah di atas kebenaran, maka dia adalah pengikut beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu Allah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman setelahnya,

“Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)

Seorang dai yang mengajak kepada Allah subhanahu wata’ala lagi jujur dalam berdakwah, dialah orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas ilmu. Bukannya dengan kedustaan atau perkataan tentang Allah tanpa ilmu, Maha tinggi Allah dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya. Bersamaan dengan itu dia mensifati Allah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sifat-sifat kesempurnaan, mensucikan-Nya dari penyerupaan dengan makhluk, mentauhidkan-Nya, ikhlas kepada-Nya dan berlepas diri dari syirik beserta pelakunya.
Seorang dai yang mengajak kepada Allah subhanahu wata’ala wajib untuk mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dan beristiqamah di atas syariat-Nya. Di samping itu, dia mensucikan Allah subhanahu wata’ala dari menyerupakan-Nya dengan makhluk, mensifati-Nya dengan sifat yang ditetapkan oleh Dia sendiri atau oleh Rasul-Nya, mensucikan-Nya dari sifat-sifat kekurangan dan kelemahan, menetapkan Asma`ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi nan sempurna yang terdapat dalam Al Qur`an atau Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam Al Amin dalam bentuk penetapan yang layak bagi kemuliaan-Nya dengan tanpa tamtsil (menyerupakan sifat Allah subhanahu wata’ala dengan sifat makhluk-Nya -pent) dan mensucikan-Nya tanpa ta’thil (meniadakan makna sifat Allah subhanahu wata’ala yang haq -pent).

Oleh karena itu, seorang hamba wajib menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah subhanahu wata’ala dengan penetapan yang sempurna tanpa tamtsil dan tasybih (menyerupakan sifat Allah subhanahu wata’ala dengan sifat makhluk-Nya, pen), mensucikan semua sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala dari penyerupaan terhadap makhluk dengan pensucian yang bersih dari ta’thil.

Selain itu, seorang hamba wajib menamai Allah subhanahu wata’ala dengan Asma`ul Husna, mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang mulia yang terdapat dalam Al Qur`an atau sunnah yang shahih tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil, tanpa menambah dan mengurangi. Dengan demikian, dia adalah seorang pengikut Rasul, bukan ahlu bid’ah. Dia telah berjalan di atas manhaj lurus yang telah ditempuh oleh para rasul dan para pengikutnya dengan baik, yang paling utama dari mereka adalah Nabi kita Muhammad subhanahu wata’ala dan para shahabat beliau yang setelahnya. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, di mana pelopor mereka adalah para imam yang terkenal setelah shahabat seperti Al Imam Malik bin Anas, Al Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Al Imam Al Auza’i, Al Imam Sufyan Ats-Tsauri, Al Imam Ishaq bin Rahuyah, dan para ulama selain mereka yang berjalan di atas manhaj yang lurus dalam hal menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala, serta mensucikan-Nya dari penyerupaan terhadap makhluk.(*)

Sumber: (Ada Tanggung Jawab di Pundakmu, Asy Syaikh Ibn Baaz, penerbit Al Husna Jogjakarta)

0 comments: